Rabu, 11 November 2009

Psikologi Korupsi


“Corruption never has been compulsory” Kutipan di atas saya ambil dari pernyataan Anthony Eden, seorang politikus yang pernah menjadi Perdana Menteri Inggris 1955–1957.

Pesan moral yang lebih penting dari kutipan itu: tidak ada paksaan dalam melakukan korupsi. Artinya, kalau seseorang melakukan korupsi, ia tidak boleh berdalih melakukannya karena terpaksa, katakanlah karena gaji rendah. Hal lain yang juga ingin ditegaskan kutipan di atas: korupsi itu suatu tingkah laku yang disengaja, bukan faktor kebetulan, yaitu tingkah laku yang dilandasi niat atau motivasi tertentu.

Bahkan kalau kita lihat dari hasil investigasi terhadap suatu perilaku korupsi, jelas sekali bahwa perbuatan itu sudah direncanakan jauh hari sebelumnya.Tulisan ini ingin menyoroti perilaku korupsi dari sudut pandang psikologi sebagai ilmu yang menjelaskan tingkah laku manusia. Pertama harus diperjelas dulu apa pengertian korupsi tersebut.

Ada banyak pengertian dan definisi tentang korupsi, tergantung dari perspektif mana kita mau mendefinisikannya. Bisa dari perspektif legal, ekonomi, atau politik.Secara umum pengertian korupsi harus diletakkan dalam ranah publik.Artinya kalau Anda menggelapkan uang ayah atau paman Anda, itu tidak bisa digolongkan sebagai korupsi, itu namanya penipuan atau pencurian biasa.Pengertian korupsi sebenarnya selalu melekat dalam konteks publik.

Arrigo dan Claussen (2003) misalnya mendefinisikan korupsi sebagai ”mengambil atau menerima suatu keuntungan buat diri sendiri yang tidak sah secara hukum dikarenakan individu tersebut mempunyai otoritas dan kekuasaan”. Jadi jelas dalam pengertian ini,segala bentuk penggelapan,pencurian terhadap dana publik untuk menguntungkan diri sendiri adalah perbuatan korupsi.

Termasuk juga dalam pengertian ini ketika Anda menerima gratifikasi, suap dari orang lain supaya kepentingan orang yang memberikannya Anda dahulukan (kepentingan publik diabaikan). Jadi otomatis Anda bersikap tidak adil buat orang lain atau publik. Inti dari perbuatan korupsi adalah Anda menyalahgunakan kekuasaan publik (abuse of political power or authority).

Pertanyaannya adalah mengapa orang menyalahgunakan kekuasaannya tersebut untuk kepentingan pribadinya? Secara psikologis, jawaban tersebut harus kita telusuri dari halhal yang mendasari orang berperilaku dalam suatu konteks tertentu. Menurut pandangan teori behavioris, tingkah laku seseorang adalah fungsi dari lingkungannya.

Tingkah laku yang tampak adalah semata-mata hasil respons seseorang terhadap stimulus dari lingkungannya. Misalnya Anda berperilaku ikut antrean karena lingkungan (sebagai stimulus) mengarahkan Anda untuk antre. Kalau tidak ikut antre,Anda akan menerima konsekuensi tidak menyenangkan dalam bentuk hukuman dan sanksi.

Begitu pula sebaliknya kalau Anda ikut antre akan menerima konsekuensi menyenangkan (dalam bentuk hadiah atau pujian). Pola tingkah laku akan stabil mengikuti logika konsekuensi dari imbalan dan hukuman ini. Pandangan ini dianggap terlalu pasif sehingga timbul pandangan lain yang bernama socio-cognitive approach.

Pandangan ini menambahkan, selain ditentukan oleh mekanisme imbalanhukuman (reward and punishment) dari lingkungan yang terkesan sangat sederhana, dalam bertingkah laku individu juga ditentukan oleh struktur kognitif yang banyak ia pelajari lewat proses sosial. Teori yang lain, teori kepribadian, menambahkan bahwa individu adalah insan yang mempunyai sifat-sifat (traits) unik tertentu yang membedakan suatu orang dengan orang lain.

Dalam kasus korupsi,secara psikologis, tentu menjadi jelas bahwa perbuatan menyalahgunakan wewenang tersebut bisa saja terjadi karena individu tersebut sudah memiliki kecenderungan (sifat) untuk berbuat curang. Ini kalau penjelasannya kita alamatkan kepada karakteristik kepribadian.

Pertanyaannya: mengapa orang yang katanya baik-baik ternyata korupsi juga? Kaum behavioris mengatakan, berarti lingkunganlah yang secara kuat memberikan dorongan bagi orang untuk korupsi dan mengalahkan sifat baik seseorang yang sudah menjadi traits pribadinya. Lingkungan dalam hal ini malah memberikan dorongan dan bukan memberikan hukuman pada orang ketika ia menyalahgunakan kekuasaannya.

Penelitian-penelitian empiris mengenai korupsi mengonfirmasi anggapan tersebut.Pada umumnya faktor penyebab korupsi bersumber pada tiga aspek. Pertama, kerusakan pada lingkungan makro (negara) di mana sistem hukum, politik, pengawasan, kontrol, transparansi rusak.Kerusakan tersebut menjadi latar lingkungan yang merupakan faktor stimulus bagi perilaku orang.

Tentunya menjadi jelas ketika sistem tidak secara kuat memberikan hukuman terhadap pelanggaran dan imbalan terhadap sebuah prestasi, tingkah menyimpang (korupsi) malah akan diulangulang karena akan memberikan konsekuensi yang menyenangkan. Kedua,pengaruh dari iklim koruptif di tingkat meso (misalnya kelompok, departemen). Ketiga karena faktor kepribadian.(*)

Sumber :
Dr Hamdi Muluk
Pengajar Psikologi Politik Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
http://himpsijaya.org/2008/05/02/psikologi-korupsi/
1 Mei 2008

Sumber Gambar:
http://a.images.blip.tv/Indonesiamedia-Korupsi955.jpg

Antasari Azhar, Teguhkan Independensi KPK

Di bawah kepemimpinan jaksa karir ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) semakin menunjukkan kemampuan dan keteguhan independensinya memberantas korupsi. Sebagai Ketua KPK, Antasari Azhar, kelahiran Pangkal Pinang, Bangka 18 Maret 1953, menunjukkan kepemimpinan yang menempatkan KPK pada posisi seharusnya sebagai lembaga yang independen, bebsa dari campur tangan pemerintah dan lembaga lainnya.

KPK di bawah kepemimpin mantan Kepala bidang hubungan media massa Kejaksaan Agung (2000) dan Kepala kkejaksaan Negeri Jakarta Selatan, ini memperlihatkan keberanian, profesionalitas, integritas dan eksistensinya yang tidak berada di bawah kendali pemerintah (eksekutif). Ia tidak gemar menghadap dan melapor kepada Presiden seperti pendahulunya Taufiequrachman Ruki.

Pada awal kepemimpinnya, beberapa saat setelah ia dilantik bersama empat anggota KPK lainnya di Istana Negara, Jakarta, Selasa (18/12/2007), KPK membongkar kasus suap dalam tabuh Kejaksaan Agung, Juga menuntaskan kasus penympangan dana di Bank Indonesia yang melibatkan antara lain Aulia Pohan, besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Pada saat baru dilantik, banyak pihak menduga Antasari sebagai seorang jaksa karir akan tunduk kepada Jaksa Agung dan Presiden sebagai atasannya, sebelum menjabat Ketua KPK.

Antasari Azhar, kala itu meminta masyarakat bersabar dan memberi waktu kepada anggota KPK yang baru dilantik untuk berkoordinasi. "Saya mohon bersabarlah. Keputusan KPK itu keputusan kolektif," ujarnya.

Setelah pelantikan, Presiden pun berbicang-bincang dengan anggota KPK. Yudhoyono meminta konsistensi penegakan hukum pemberantasan korupsi dilanjutkan. Presiden lantas memanggil mantan Ketua KPK Taufiequrachman Ruki. Dalam sorotan kamera televisi, Presiden kemudian memberi beberapa arahan.

Sementara itu, saat acara di Kantor KPK, suasana haru terjadi saat serah terima jabatan antara pimpinan KPK lama yang diketuai Taufiequrachman Ruki dan pimpinan KPK baru yang diketuai Antasari Azhar.

Saat tayangan video di layar besar menampilkan beberapa foto kegiatan pimpinan KPK lama, tepuk tangan meriah tak kunjung henti. Beberapa di antaranya terlihat menyeka air mata.

"Saya sungguh terharu dan terpanggil karena Pak Taufieq cs mendapat aplaus meriah. Kami berpikir, apakah kami empat tahun ke depan mendapat aplaus seperti ini. Empat hari lalu kami berkumpul, meskipun belum dilantik, kami sudah membangun komitmen untuk terus berjuang memberantas korupsi. Jangan ragukan itu dan kami siap," janji Antasari dalam pidatonya.



Lima Pimpinan KPK

Melalui pemungutan suara yang dilangsungkan pada Rabu malam, 5 Desember 2007, Komisi III DPR akhirnya memilih lima pimpinan KPK periode 2007-2011. Mereka adalah Chandra M. Hamzah, Antasari Azhar, Bibit Samad Rianto, Haryono, dan Mochammad. Jasin. Dari 49 anggota Komisi III DPR, Chandra mendapatkan 44 suara, disusul Antasari dengan 37 suara. Bibit dan Haryono mendapatkan jumlah suara yang sama, yaitu 30. Sedangkan Jasin mendulang 28 suara.

Setelah mendapatkan komposisi lima pimpinan KPK periode 2007-2011, Komisi III DPR yang diketuai Trimedya Panjaitan melakukan proses pengambilan suara tahap kedua mendapatkan sosok yang akan menjadi Ketua KPK.

Untuk tahap kedua ini, diambil dari dua calon yang mendapatkan suara tertinggi pada putaran pertama, yaitu Chandra dan Antasari. Akhirnya, terpilihlah Antasari sebagai Ketua KPK periode 2007-2011 setelah mendapatkan 41 suara. Sedangkan Chandra mendapatkan 9 suara.

Hasil Perolehan Suara Calon Pimpinan KPK 2007-2011: Chandra M. Hamzah 44; Antasari Azhar 37, Bibit Samad Rianto 30, Haryono 30, Mochammad Jasin 28, Marwan Effendi 27, Waluyo 19, Amien Sunaryadi 16, Surachmin 8, dan Iskandar Sonhaji 6 suara.

Antasari Azhar
Merasa Jadi Selebritis
Entah berkah entah pula musibah, yang jelas kasus Tommy Soeharto telah melambungkan nama Antasari Azhar, ketika menjabat Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Tak heran, kalau setiap kali ia berada di tempat umum, orang-orang langsung menatapnya sambil berbisik-bisik. Sebenarnya, ia merasa risi juga. Namun apa mau dikata. "Saya merasa menjadi selebritis," guyon Antasari.

Namun di balik ketenaran, tidak bisa dipungkiri, Antasari menanggung beban yang cukup berat setelah gagal melakukan eksekusi terhadap Tommy, yang sejak sebulan lalu dinyatakan buron. Sampai-sampai, ia sendiri sempat "dicurigai" ikut menghalang-halangi eksekusi.

Memang, banyak orang yang bertanya-tanya terhadap cara eksekusi yang dilakukan oleh Antasari dan kawan-kawan. Misalnya, Antasari tidak langsung melakukan eksekusi begitu putusan MA turun. Selain itu, ketika grasi Tommy ditolak Presiden, Antasari juga tidak langsung melakukan eksekusi terhadap putra mantan orang kuat Orde Baru itu.

Yang lucunya, ketika hari H pemanggilan Tommy ke Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, Antasari juga belum bisa memastikan apakah Tommy sudah menerima salinan penolakan grasi atau tidak. Anehnya lagi, waktu itu (Jumat, 3 November), Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan "mengundang" Tommy ke kantornya pada siang hari, bukan paginya. Bila tidak memenuhi undangan itu, baru mereka akan melakukan upaya paksa. Tapi, ternyata, ketika eksekusi paksa hendak dilakukan, Tommy sudah tidak ada lagi di Cendana.

Tidak jelas, apakah kelemahan-kelemahan semacam itu semata-mata persoalan administratif saja atau memang kelambanan Antasari sendiri dalam bertindak. Kalau betul itu kelemahan administratif, mungkin bukan Antasari sendiri yang harus bertanggungjawab, meskipun ia tidak bisa begitu saja lepas tangan. Namun, jika itu karena kelambanan Antasari, tidak salah kalau kesan yang muncul ia sengaja mengulur-ulur waktu eksekusi. Yang terlihat, Antasari memang kurang memperhitungkan bahwa yang akan dieksekusi itu adalah manusia, bukan benda mati yang tidak bisa lari.


Selain itu, kelihatan sekali ia terlalu percaya pada pengacara Tommy. Simak saja jawabannya ketika ditanya TEMPO, mengapa saat permohonan grasi Tommy ditolak Presiden, pihaknya tidak segera melakukan eskekusi: "Pengacara Tommy bilang bahwa eksekusi tidak dapat dilakukan karena mereka belum menerima petikan penolakan grasi." Apakah hal itu karena salah satu pengacara Tommy, Bob RE Nasution, adalah seniornya di kejaksaan? "Saat bertugas di Jakarta Pusat, saya memang menjadi anak buah Pak Bob. Sekarang, kalau bicara hukum, posisi kami berbeda," kilah Antasari. Ia juga membantah ada deal khusus antara dirinya dan Bob mengenai eksekusi Tommy.

Yang juga menjadi pertanyaan publik adalah cara kejaksaan melakukan penggeledahan terhadap kediaman Tommy dan keluarga besarnya di Cendana. Sebelum penggeledahan dilakukan, pihaknya sudah lebih dulu mengumumkan target-target penggeledahan itu. Ia lagi-lagi lupa bahwa yang akan dicari dengan penggeledahan itu bukan benda mati, yang tidak bisa lari atau bersembunyi. Tak heran kalau kemudian kisah pengejaran Tommy lebih mirip sandiwara belaka.

Mungkin hal itu juga yang membuat Jaksa Agung Marzuki Darusman, seperti dikutip Kompas, perlu melaporkan Antasari kepada polisi, meskipun kemudian Marzuki membantahnya. Namun Antasari tetap dalam posisi yang tidak enak, setidaknya publik memberi penilaian bahwa ia tidak bisa menjalankan tugasnya dengan baik. Padahal, sebelum Tommy lari, ia sudah terlihat sangat optimis bisa membawa Tommy ke Cipinang. Ia pun tampak tidak khawatir terhadap kemungkinan Tommy melarikan diri. Alasannya, Tommy telah dicekal.

Sementara orang-orang menyorotnya tidak becus, Antasari sendiri justru menganggap pengacara Tommy-lah yang berusaha menghalang-halangi eksekusi. Ia tidak yakin dengan alasan yang dikemukakan oleh sang pengacara bahwa Tommy mendapat teror akan dibunuh dan sebagainya. "Darimana saya tahu alasan itu dari Tommy? Tommy enggak pernah kontak saya," ujarnya. Ia menduga, alasan itu hanya bikinan pengacaranya. Namun begitu, seperti dituturkannya kepada TEMPO, ia optimis Tommy akan tertangkap, bahkan dalam hitungan hari. Benarkah?

Antasari sendiri, walau menanggung beban yang cukup berat, kelihatan santai-santai saja. Setidaknya, ia tidak terlihat tegang. Meskipun ada sebagian orang yang mencemoohnya, bahkan mencaci-maki. Hal yang juga terpaksa diterima anak-anaknya. "Saya kan jadi repot, tiap hari ditanyain terus sama temen-temen soal Tommy," ujar Andita, anak pertamanya yang duduk di bangku kelas III SMU. Meski begitu, mereka tetap mendukung sang ayah. "Tiap malam saya berdoa supaya Tommy tertangkap dan bapak jadi tenang," kata Ajeng, putri bungsunya yang baru kelas III SMP. Tentu saja, selain "celoteh kanan-kiri" yang harus diterima, ada pula yang menunjukan rasa simpati dengan mengirim bunga atau parsel.

Yang pasti, selama menangani kasus Tommy kesibukannya menjadi sangat meningkat. Sampai-sampai waktunya untuk keluarga nyaris tak ada. Pulang ke rumah kadang-kadang sudah sangat larut malam, bahkan dini hari, lalu berangkat lagi sekitar pukul enam pagi. Untungnya, isteri dan anak-anaknya bisa memahami hal tersebut. Walaupun demikian, Antasari merasa sedih juga telah "menerlantarkan" keluarganya, juga mengorbankan kegemarannya bermain tenis. Tidak jarang, ketika sedang berjalan bersama dua anaknya, ia mendapat telepon yang membuatnya harus meninggalkan acara keluarganya itu. "Biasanya anak-anak saya suruh pulang naik taksi saja," kisahnya.

Lahir di Pangkal Pinang, Bangka, 47 tahun lalu. Ia menamatkan sekolah dasar di Belitung. Sementara SMP dan SMA ditamatkannya di Jakarta. Selanjutnya, ia masuk Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, Jurusan Tata Negara. Di kampus itu, Antasari dikenal sebagai salah seorang yang aktif di organisasi. Ia sempat menjadi Ketua Senat Mahasiswa dan Kedua Badan Perwakilan Mahasiswa. "Saya kan bekas demonstran tahun 78," akunya bangga.

Lulus kuliah, ia kembali ke Jakarta. Awalnya, Antasari bercita-cita menjadi diplomat. Tetapi rupanya, perjalanan hidupnya berkata lain: ia diterima menjadi jaksa. Awal karirnya sebagai penegak hukum itu ia jalani saat menjadi jaksa fungsional di Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat (1985-1989). Pelan-pelan karirnya meningkat. Setelah bertugas di sejumlah daerah -- di Tanjung Pinang, Lampung, Jakarta Barat, dan Baturaja -- ia ditarik ke Kejaksaan Agung menjadi Kasubdit Upaya Hukum Pidana Khusus. Namanya pun mulai berkibar. Dari sana, ia dipindahkan menjadi Kepala Subdit Penyidikan Pidana Khusus. Terakhir, sebelum dipercayakan menjadi Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, Antasari menjabat Kepala Bidang Hubungan Masyarakat di lembaga yang kini dipimpin Marzuki Darusman itu.

Untuk mendukung tugas-tugasnya itu, ia tidak pernah berhenti belajar. Antasari tidak hanya membaca --dan mengoleksi berbagai buku, terutama buku-buku berbau hukum-- tetapi juga mengikuti kuliah formal untuk menambah ilmunya. Kini ia sedang mengambil gelar master bidang bussiness law di IBLAM, lembaga yang dikelola oleh mantan Hakim Agung Bismar Siregar. Semangat untuk menambah wawasan itu bisa terbaca begitu memasuki ruang kerjanya: deretan buku memenuhi lemari di sana.

Tidak jelas, apakah di sana juga ada buku-buku yang berisi soal bagaimana mempercepat tertangkapnya seorang terpidana yang sedang buron? *** (Tokoh Indonesia/Andari Karina Anom/Nurakhmayani/Tempo Interaktif)► mti

Sumber :

TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/a/antasari-azhar/index.shtml

Enam Titik Perseteruan Polri-KPK

Bagaimana sebenarnya duduk perkara silang sengkarut kasus yang melibatkan empat pucuk pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)? Banyak pihak memandang, ini adalah konflik Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dengan KPK secara institusional. Padahal, belum tentu.

Secara jernih, kronologi kasus tersebut dapat didekati minimal dengan enam titik krusial. Pertama, penetapan Antasari Azhar, ketua KPK (nonaktif), sebagai tersangka dan aktor intelektual (intelectual dader) dalam pembunuhan Nasruddin Zulkarnaen oleh Polri. Saat itu sebagian masyarakat yang mencermati rekam jejak Antasari tentu tidak akan kaget.

Titik pertama ini sudah melewati proses hukum di kepolisian dan kejaksaan. Kebenaran tuduhan tentu akan dibuktikan di persidangan. KPK pun tidak terlalu terganggu kinerjanya di mata publik setelah minus Antasari.

Masalah baru mengemuka saat ada “niat lain” menjerat tersangka baru di jajaran pimpinan KPK. Pada waktu yang relatif sama, DPR menyuarakan pembekuan kerja KPK karena hanya ada empat pimpinan. Bahkan, kemudian muncul sejumlah informasi, pimpinan KPK hanya akan tinggal satu! Di titik inilah, publik cemas dan sangat khawatir dengan serangan balik koruptor (corruptors fight back) yang semakin sistematis.

Kedua, berbagai jurus mulai digunakan untuk mematikan KPK. Di hari-hari yang kritis pascasalah seorang wakil pimpinan KPK (CMH) dipanggil dan akan dijerat dengan pasal anti penyadapan, beberapa institusi lain pun melakukan manuver. Titik kedua ini pun gagal. Upaya menjerat wakil ketua KPK dengan UU Komunikasi dan UU ITE tidak terdengar lagi.

Namun, agaknya sebuah kekuatan tersembunyi tidak berhenti berpikir. Hingga di titik ketiga, isu suap terhadap pimpinan dan sejumlah staf utama KPK mulai disebarkan. Hanya berbekal testimoni Antasari dan rekaman perbincangan mantan ketua KPK dengan Anggoro Widjaya dan dua lelaki lain. Jurus ini pun kemudian runtuh. Poin menarik terletak ketika si pemberi suap justru melaporkan dua nama yang diduga makelar kasus ke Polri. Laporannya bukan suap ataupun korupsi, tapi pemerasan dan penipuan oleh orang yang mengaku sebagai suruhan KPK.

Kasus ini pun berhenti sementara setelah salah satu makelar kasus ditangkap kepolisian. Dan, surat pencabutan cekal Anggoro itu pun ternyata palsu. Bahkan, mengemuka bahwa sejumlah uang yang diterima si makelar perkara telah dinikmati sendiri.

Selain itu, pertemuan Antasari dengan seseorang yang saat ini menjadi tersangka dan buron kasus korupsi di KPK tentu saja aneh. Bukan hanya janggal, tetapi dapat dijerat dengan ancaman pidana serius di UU KPK.

Namun, KPK belum dapat bernapas lega. Seperti sudah ditetapkan menjadi target operasi (TO), jurus keempat dimainkan. Empat pimpinan dan empat pegawai utama KPK dipanggil Polri dengan tuduhan melanggar pasal 23 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU 20 Tahun 2001 dan pasal 421 KUHP, kembali dipanggil. Poin prinsip aturannya sederhana, “dalam perkara korupsi seorang pejabat yang menyalahgunakan kekuasaannya, diancam pidana”.

Ternyata yang dipersoalkan adalah tindakan pencekalan Anggoro Widjaya. Seorang yang sebenarnya tersangka dan buron KPK karena diduga memberikan suap kepada anggota DPR RI dan pejabat Departemen Kehutanan.

Poin kelima terletak pada kasus Anggoro, tepatnya sebagai rekanan Departemen Kehutanan, PT Masaro dalam pengadaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT). Kasus ini berawal dari penangkapan salah seorang anggota Komisi IV DPR RI, yang bahkan sudah divonis bersalah oleh Pengadilan Tipikor. KPK mulai mengembangkan perkara lain pada kasus Masaro. Agaknya, di sinilah Anggoro mulai dicekal atau dilarang bepergian keluar negeri. Salahkah?

***

Mengacu pada panggilan Polri, agaknya, pencekalan Anggoro dinilai salah. Bahkan, pelakunya dapat diancam pidana maksimal 6 tahun karena penyalahgunaan kewenangan. Tidak terlalu jelas indikator dan bukti hukum apa yang digunakan dalam kasus ini. Yang pasti, publik mengkhawatirkan penggunaan pasal karet ini cenderung hanya untuk mencari kesalahan orang tertentu di KPK. Tentu bukan tidak mungkin berujung pada pemberhentian pimpinan KPK. Karena UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK mengatur demikian, dalam hal pimpinan ditetapkan sebagai tersangka, dia harus berhenti sementara.

Polri mungkin akan bilang, semua orang sama di mata hukum. Tidak boleh ada yang dilindungi. Tapi, bukankah terlalu banyak kejanggalan? Kasus terakhir justru membuat kita berpikir, ada kesan melindungi Anggoro. Mungkinkah? Hal ini menjadi semakin menarik ketika tersangka dan buron KPK ini justru diarahkan meminta perlindungan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Untungnya, LPSK menolak.

Lima titik krusial di atas setidaknya diharapkan bisa menjernihkan pembacaan tentang silang sengkarut di balik pemeriksaan pimpinan KPK. Namun, jika ditarik benang merah, ternyata titik kusutnya terletak pada keterangan Antasari. Dua upaya terakhir untuk menjerat pimpinan KPK terlihat didasari testimoni mantan ketua KPK tersebut.

Dapatkah sebuah dokumen yang diperoleh dengan cara melanggar hukum digunakan sebagai bukti? Tentu saja, legitimasi kekuatan alat bukti dapat runtuh, apalagi testimoni tersebut dalam hukum hanya dikategorikan sebagai “testimonium de auditu”. Sesuatu yang sama sekali tidak punya kekuatan pembuktian, karena menerangkan apa yang dilihat dan dijelaskan orang lain.

Selain lima hal di atas, ada satu titik yang tak kalah penting, yakni pemanggilan pimpinan KPK terjadi saat KPK menyelidiki kasus skandal Bank Century. Bahkan, disebutkan salah seorang petinggi Polri sedang diteliti dalam kasus tersebut. (*)

Sumber :
Febri Diansyah
Jawa Pos, 14 September 2009, dalam :
http://dukungkpk.com/enam-titik-perseteruan-polri-kpk.kpk

Mengintip Masa Depan KPK dan Pemberantasan Korupsi Pasca Terpilihnya 3 Plt. Pimpinan KPK

Tumpak Hatorangan Panggabean, Waluyo, dan Mas Achmad Santosa baru saja
terpilih menjadi Plt. Pimpinan KPK beberapa jam yang lalu dan hari ini
tgl 6 Oktober 2009 akan dilantik oleh presiden. Bagaimana masa depan
KPK dan pemberantasan korupsi pasca terpilihnya mereka? Untuk
mengintip, menilai atau menganalisanya perlu melihat komposisi
pimpinan KPK periode sekarang dan strategi pemberantasan korupsi yang
akan dijalankan.

Tumpak Hatorangan Panggabean (THP) merupakan jaksa senior yang tidak
diragukan lagi kemampuan teknisnya dalam pemberantasan tindak pidana
korupsi. Di kalangan internal KPK, beliau dianggap sebagai guru,
sahabat, dan orang tua yang mampu membimbing hampir semua personil
bidang penindakan. Kembalinya THP ibarat kembalinya ‘juru kunci’
penindakan KPK. Mencermati sepak terjang THP dalam memimpin bidang
penindakan KPK dapat dilihat dari sederet prestasinya mengirim
Gubernur Aceh (Abdullah Puteh), anggota KPU (Mulyana W. Kusumah cs),
eks Menteri Kelautan dan Perikanan (Rokhmin Dahuri), dan sedert
pejabat negara lainnya ke bui. Menurut survei yang dilakukan Kompas
yang mengukur tingkat kepercayaan masyarakat pada lembaga penegak
hukum, pada tahun 2006 merupakan era puncak kejayaan KPK. Hal ini
tidak terlepas dari kepemimpinan THP dalam bidang penindakan. Namun
demikian, THP juga dikenal sebagai ‘safety player’. THP dikenal
sebagai pimpinan yang selalu berpedoman pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan kurang berani bermanuver dalam
pemberantasan korupsi. Jika tidak punya keyakinan di atas 90% akan
menang di pengadilan, THP tidak berani melangkah lebih lanjut
(meningkatkan penanganan kasus ke tingkat penyidikan). Jika
diibaratkan, THP bukanlah pilot pesawat tempur atau pembalap F1, namun
lebih tepat jika disebut pilot pesawat penumpang atau bus penumpang.
Di antara pimpinan KPK yang ada, boleh dibilang THP merupakan
satu-satunya sopir atau pilot yang berpengalaman dalam mengendarai
bidang penindakan, dengan tugas mengirim para koruptor bersekolah di
Lembaga Pemasyarakatan.

Waluyo adalah mantan Deputi Pencegahan KPK periode 2004-2008. Dengan
latar belakang di bidang perminyakan dan aktif dalam kegiatan-kegiatan
anti korupsi, Waluyo dikenal sebagai ahli dalam pencegahan korupsi.
Bersama-sama dengan Sjahruddin Rasul (pimpinan KPK periode 2003-2007),
Waluyo merupakan arsitek dalam bidang pencegahan. Dampak bidang
pencegahan korupsi memang tidak nampak secara nyata dalam jangka
pendek ataupun diukur dengan riil seperti halnya penindakan yang bisa
diukur dengan berapa banyak pejabat negara yang dikirim ke penjara,
berapa banyak uang negara yang bisa disetor ke negara, dst. Untuk
mengubah ‘budaya korupsi’ yang sudah mengakar dalam sendi-sendi
kehidupan berbangsa dan bernegara, dibutuhkan upaya-upaya pencegahan
yang berkesinambungan dan terobosan-terobosan cerdas untuk mempercepat
perubahan sikap atau budaya yang terlanjur korup. Jika melihat
komposisi pimpinan KPK yang ada, Waluyo bersama-sama M. Jasin dan
Haryono Umar, atau bahkan termasuk Mas Achmad Santosa mempunyai
keahlian yang sama, yaitu ahli dalam bidang pencegahan. Kemungkinan
besar, warna pencegahan akan lebih mendominasi dalam sepak terjang KPK
di masa depan.

Mas Achmad Santosa dikenal mempunyai hubungan khusus dengan Tim 5 yang
bertugas mencari dan memilih Plt. Pimpinan KPK. Kedekatannya dengan
Adnan Buyung Nasution dan Todung Mulya Lubis sudah banyak diketahui
publik. Aktivitas Ota (penggilan akrab Mas Achmad Santosa) banyak di
dunia akademisi (sebagai dosen UI), aktifis lingkungan hidup
(mendirikan ICEL), dan tata kelola pemerintahan yang baik (aktif di
Patnership). Selama ini Ota belum pernah menjadi pejabat pemerintah
dan lebih banyak bersikap kritis di luar pemerintahan. Karakteristik
orang seperti ini biasanya akan banyak mempunyai ide-ide baru ketika
menjabat sebagai salah satu Plt. Pimpinan KPK, namun akan mengalami
banyak benturan-benturan yang sebelumnya belum dirasakan oleh orang
luar. Mengingat keahlian Ota lebih kepada pencegahan korupsi,
kemungkinan besar gebrakan-gebrakannya tidak banyak bisa dilihat oleh
masyarakat umum karena masyarakat sering hanya melihat kinerja KPK
berdasarkan bagaimana KPK banyak memenjarakan para pejabat negara.

Bagaimana masa depan KPK dan pemberantasan korupsi di pasca
terpilihnya Plt. Pimpinan KPK? Melihat komposisi 5 pimpinan yang ada,
4 orang (M. Jasin, Haryono Umar, Waluyo, Mas Achmad Santosa) memiliki
keahlian dalam bidang pencegahan korupsi, sedangkan hanya 1 orang
(THP) yang kuat dalam bidang penindakan, maka kampanye anti korupsi,
pendidikan anti korupsi, sosialisasi anti korupsi, monitoring kinerja
layanan publik, dan berbagai kegiatan pencegahan korupsi akan tampak
lebih mewarnai dalam 2 tahun ke depan. UU Pengadilan Tipikor yang baru
disahkan dalam rapat paripurna minggu kemarin, terutama terkait
komposisi hakim dan lokasi pengadilan, juga semakin menambah suram
warna penindakan (penangkapan) para koruptor. Apakah salah memperkuat
pencegahan korupsi? Tidak ada yang salah dengan strategi pemberantasan
korupsi yang lebih menekankan pada upaya pencegahan. Namun harus
diakui bahwa upaya-upaya penindakan, khususnya yang dilakukan KPK,
belum membuat para koruptor takut. Koruptor hanya lebih waspada dan
hati-hati dalam menjalankan aksinya. Modus operandi korupsi tidak
se-vulgar periode-periode sebelum munculnya KPK. Koruptor akan
berusaha mengantisipasi upaya-upaya yang dilakukan aparat penegak
hukum. Oleh karena itu, upaya-upaya penindakan (penangkapan koruptor)
perlu lebih diintensifkan. Bahkan upaya penindakan perlu diarahkan ke
sektor-sektor yang selama ini belum bisa tersentuh, terutama yang
melibatkan pejabat tinggi negara yang ‘bekerjasama’ saling
menguntungkan dengan para koruptor tingkat atas dengan menggunakan
modus operandi yang sangat canggih. Strategi penindakan perlu di-up
grade agar bisa selangkah lebih maju dari apa yang diantisipasi para
koruptor. Strategi penindakan perlu bersinergi dengan strategi
pencegahan secara berimbang bahkan harus bersinergi. Rasanya strategi
penindakan masih perlu lebih ditonjolkan, sedangkan strategi
pencegahan bisa mengikuti arah dari strategi penindakan yang ada.

Melihat kondisi saat ini, bagaimana masa depan KPK dan pemberantasan
korupsi di masa depan ? Apakah hal ini merupakan bagian skenario
pelemahan KPK ? Atau merupakan kekuatiran banyak pihak (baca koruptor
dan kroninya) akan kedahsyatan penindakan (penangkapan koruptor) yang
dilakukan KPK, sehingga berusaha mengamputasinya ? Atau bahkan apakah
hal ini merupakan upaya pelemahan KPK dengan cara yang sangat halus
dan cerdas ? Hanya waktu yang bisa membuktikannya.

Salam anti korupsi

Sumber :
Harry Budiyanto
http://dukungkpk.com/mengintip-masa-depan-kpk-dan-pemberantasan-korupsi-pasca-terpilihnya-3-plt-pimpinan-kpk.kpk
6 Oktober 2009

Triumvirat Pemberantas Korupsi di Indonesia

Triumvirat kedua dalam sejarah Roma antara Octavianus, Marcus Aerulius, dan Mark Antony dikenang oleh banyak orang sebagai persaingan kekuasaan tiga pemimpin yang berakhir dengan digantikannya Republik Roma dengan Kerajaan/Kekaisaran Roma. Ketiganya memiliki pandangan masing-masing tentang bagaimana cara terbaik memerintah Roma dan ketiganya pun saling bersaing untuk memaksakan pandangan tersebut. Saat ini Indonesia memiliki Triumvirat-nya sendiri dalam hal pemberantasan korupsi. Baik Kejaksaan, Kepolisian, maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sama-sama sibuk memerangi korupsi di negara ini tapi pada akhirnya seringkali mereka berbenturan.

Dalam sebuah negara hukum, Kepolisian dan Kejaksaan adalah perangkat negara yang tidak hanya harus ada tapi memang dibutuhkan keberadaannya. Namun karena kinerja keduanya dianggap jauh dari memuaskan dalam memberantas korupsi maka didirikanlah KPK, sebuah perangkat tambahan negara yang diberikan keleluasaan lebih untuk bertindak dan lepas dari intervensi penguasa. Dari sebuah perangkat tambahan negara yang diragukan kemampuannya, KPK telah berhasil meraih kepercayaan rakyat sampai pada titik bahwa hanya mereka yang memiliki kemampuan untuk memberantas korupsi di Indonesia.

Kebalikannya, baik Kepolisian dan Kejaksaan tidak berhasil meraih kepercayaan masyarakat. Kepolisian masih dilihat masyarakat sebagai perangkat negara yang penuh dengan personil-personil yang melakukan korupsi. Sedangkan bagi Kejaksaan contoh ketidak percayaan masyarakat dapat dilihat baru-baru ini. Ketika Kejaksaan mengumumkan aset negara yang berhasil mereka selamatkan dari tindak korupsi, salah satu media nasional memberitakannya dengan sudut pandang Kejaksaan telah meng-klaim berhasil menyelamatkan aset negara dan bukan sebagai sebuah prestasi. Keberhasilan KPK dalam memberantas korupsi tampaknya hanya dinikmati oleh KPK dan pemerintahan tapi tidak membantu Kejaksaan dan Kepolisian, yang sebenarnya adalah perangkat negara yang lebih utama.

Keberhasilan KPK, yang seakan merendahkan kinerja Kejaksaan dan Kepolisian, menjadikan korupsi sebagai isu utama dalam penegakan hukum di Indonesia. Seakan Kejaksaan dan Kepolisian tidak memiliki tugas lain selain memberantas korupsi. Berbeda dengan KPK yang memiliki tugas utama memberantas korupsi, Kejaksaan dan Kepolisian memiliki bidang-bidang lain dalam hukum yang harus diperhatikan. Tapi prestasi memberantas korupsi menjadi ajang “pertempuran” ketiganya saat ini.

“Pertempuran” antara Kejaksaan, Kepolisian, dan KPK dalam isu korupsi memuncak saat ini dengan ditahannya salah satu ketua KPK dengan tuduhan pembunuhan dan diperiksanya dua orang pimpinan KPK oleh Kepolisian dengan tuduhan penyalahgunaan kekuasaan. Bagi para pendukung KPK ini dipandang sebagai usaha sistematis untuk mengurangi kemampuan KPK dalam menjalankan tugasnya. Terutama karena sudah banyak orang penting yang ditangkap oleh KPK atas tuduhan korupsi. Dikeluarkannya pula Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang pimpinan KPK, dianggap oleh banyak orang sebagai aksi pengeroyokan oleh kelompok-kelompok kekuasaan yang merasa terancam dengan keberadaan KPK.

Namun ada juga yang berpendapat bahwa sikap KPK yang arogan menjadi salah satu penyebab mengapa KPK tidak disukai oleh perangkat negara yang lain. Menurut orang-orang ini, kekuasaan lebih yang dimiliki KPK telah membuat Komisi itu bersikap seenaknya dan terkesan meremehkan perangkat negara lain. Terlebih lagi di pemahaman mereka, KPK itu adalah perangkat tambahan yang sifatnya sementara dan seharusnya membantu Kejaksaan dan Kepolisian sebagai dua perangkat utama negara dalam hal pemberantasan korupsi.

Walaupun mendapat tekanan dari masyarakat dan institusi-institusi sosial, Kepolisian meneruskan pemeriksaannya terhadap dua ketua KPK. Pemerintah tetap mengeluarkan Perppu Plt Pimpinan KPK, setelah perayaan Hari Raya Idul Fitri. Bahkan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyatakan dukungannya terhadap Perppu tersebut. Padahal MK seharusnya hanya mengeluarkan pendapat dalam koridor Uji Materi. Sedangkan Kejaksaan seperti menjauhi diri dari sorotan masyarakat dalam isu ini.

Perdebatan yang terjadi di masyarakat saat ini memperlihatkan bahwa persaingan Kejaksaan, Kepolisian, dan KPK adalah masalah perebutan atau mempertahankan kekuasaan. Tapi ada masalah lainnya yaitu persaingan antar ketiganya berebut simpati masyarakat dan pemerintah. Melihat apa yang sedang terjadi di antara ketiganya seperti melihat tiga manusia bercelana pendek merah yang sedang memperebutkan hadiah dari guru atau orang tua. Ketiganya saling membanggakan keberhasilan masing-masing dan tidak ingin kalah antara satu dengan yang lainnya.

Pertanyaan yang muncul setelah itu apakah motivasi utama dari ketiganya dalam hal pemberantasan korupsi? Bila memang motivasinya adalah semulia menghilangkan praktek korupsi di Indonesia, dan bukan sekedar kebanggaan institusi, maka seharusnya pertentangan antara ketiganya lebih mudah dihindari karena ada rasa percaya dan saling mendukung di antara mereka. Bila ada rasa percaya maka Kejaksaan dan Kepolisian tidak akan merasa tersinggung bila ada anggotanya yang dijerat KPK dan begitu pula sebaliknya. Selain itu bila ketiganya saling mendukung maka keberhasilan yang satu akan dianggap sebagai keberhasilan yang lainnya pula.

Tentunya harus ditemukan pula mekanisme evaluasi kinerja gabungan ketiga perangkat itu. Ini penting agar mereka bukannya saling berkompetisi tapi bergerak bersama menuju satu tujuan. Walaupun persaingan itu kadangkala bagus untuk meningkatkan kinerja tapi saat terbukti hanya menimbulkan perpecahan maka harus ditemukan alternatifnya. Perebutan simpati masyarakat dan pemerintah yang terjadi antara Kejaksaan, Kepolisian, dan KPK adalah karena masing-masing merasa akan disingkirkan ketika kinerja yang lainnya dianggap lebih baik oleh masyarakat dan pemerintah.

Hasil akhir dari persaingan Kejaksaan, Kepolisian, dan KPK memang masih bisa diperdebatkan. Namun satu hal yang pasti, bila kinerja ketiga perangkat negara tersebut dalam memberantas korupsi menjadi terganggu, dengan beberapa kasus belakangan, maka untuk beberapa saat koruptor akan merajalela. Persaingan di antara Triumvirat Octavianus, Marcus Aerulius, dan Mark Antony menjadi awal kejatuhan Republik Roma dan munculnya kekuasaan tunggal Kekaisaran. Harapan kita jangan sampai persaingan Kejaksaan, Kepolisian, dan KPK berujung kepada otoriterianisme dalam pemberantasan korupsi yang cenderung mudah disalah gunakan.

Sumber :
Patria Gintings
http://politikana.com/baca/2009/09/29/triumvirat-pemberantas-korupsi-di-indonesia.html
29 September 2009

Elegi Pemberantasan Korupsi

”Kesejahteraan dan daya saing suatu bangsa ditentukan oleh satu karakter kultural: tingkat kepercayaan yang mensifati masyarakatnya”.

Pernyataan itu ditulis Francis Fukuyama dalam Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity.

Fukuyama menambahkan, modal sosial yang direpresentasikan dengan kepercayaan sama pentingnya dengan modal fisik (Ancok, 2003).

Dalam konteks keindonesiaan, pandangan Fukuyama relevan untuk mendedah perjuangan kita sebagai suatu bangsa dalam memerangi korupsi. Sebuah kriminal yang luar biasa dan sudah sedemikian kronis menggerogoti semua sendi kehidupan.

Metaforanya mungkin, jika semua ranting di semua hutan Indonesia digunakan sebagai pena dan air di semua lautan Indonesia sebagai tinta, kasus korupsi di negeri ini mungkin tidak pernah habis dituliskan.

Kita belum mampu menyirnakan korupsi dari Bumi Pertiwi. Perangkat keras berupa lembaga pemberantasan korupsi silih berganti diciptakan, berikut perangkat lunak berupa payung hukum yang silih berganti kita undangkan, ternyata belum membuat virus korupsi binasa.

Pemberantasan korupsi masih menjadi eikasia yang menghuni alam khayal kita. Negeri ini tetap saja sebuah belantara (korupsi). Siapa kawan dan siapa lawan tidak lagi kentara. Nicollo Machiavelli mungkin benar saat menyebut manusia sebagai serigala pemangsa sesamanya.

KPK, lembaga yang diharapkan menjadi garda depan pemberantasan korupsi, dipaksa berseteru dengan Polri dalam lakon Cicak lawan Buaya. Kejaksaan pun ikut menimpali, seperti terekam dalam skenario ”kriminalisasi” KPK yang diputar Mahkamah Konstitusi.

Kebenaran mana yang sejati biarlah waktu yang menjawab. Karena sulit berharap pembuktian dari aparat penegak hukum yang justru sedang berseteru, menutup mata hati keadilan atas nama kepentingan korps, bukan daulat rakyat.

Mengikut asas pertentangan dalam asas pemikiran nalar, jika ada dua pendapat bertentangan, tidak mungkin keduanya benar dalam waktu bersamaan. Demikian pula dalam asas penolakan kemungkinan ketiga, kebenaran hanya ada pada satu di antara keduanya.

Kontradiksi ini menjadi sumber disonansi kognitif bagi masyarakat yang sudah lelah untuk bertahan dalam kehidupan yang kian berat. Kepercayaan yang menjadi modal sosial melawan korupsi kini menjelang runtuh menuju titik nadir.

Memecah belah
Ketika Belanda menjajah negeri kita, strategi memecah belah terbukti amat ampuh untuk melanggengkan penjajahan mereka. Tiga setengah abad kita tunduk kepada imperialisme masa lalu.

Kini, strategi yang sama sedang dikloning imperialis modern bernama korupsi dalam lakon para koruptor ”kembali menyerang”. Tujuannya, melanggengkan korupsi, menjarah harta rakyat, dan mendaku negeri ini.

Politik memecah belah meruntuhkan apa yang disebut Fukuyama sebagai modal sosial, yakni kemampuan masyarakat untuk bekerja sama dalam suatu nilai dan norma untuk menggapai tujuan bersama.

Modal sosial bukan sekadar jumlah institusi yang menyangga masyarakat, tetapi ia adalah perekat yang menyatukan mereka. Mungkin inilah penjelasan mengapa banyak institusi pemberantas korupsi tidak serta-merta membawa keberhasilan mengebiri korupsi.

Kepercayaan tidak dihadirkan sebagai ”roh” pemberantasan korupsi. Semua terjebak egoisme institusi, enggan bersinergi menjadikan korupsi sebagai musuh bersama. Tanpanya, pemberantasan korupsi menjadi rapuh dan kita gampang diadu domba. Apalagi saat lembaga yang seharusnya menjunjung tinggi keadilan, berselingkuh dengan koruptor, membangun kekuatan oligarkis.

”Perang Bharatayudha” antarlembaga penegak hukum tidak terelakkan, membuang percuma banyak energi dan membuat kita lupa tugas utama untuk menegakkan hukum.

Memberantas korupsi, bagi masyarakat yang dijangkiti runtuhnya kepercayaan, hanya akan menjadi mimpi pada siang hari. Modal sosial berupa rasa saling percaya semua anak bangsa harus kembali dirajut karena ia adalah syarat mutlak bagi pemberantasan korupsi.

Komitmen negara untuk memberantas korupsi perlu kembali dipertegas, seraya mengembalikan hukum bertakhta sebagai panglima. Ke mana lagi rakyat harus mengadu jika kepercayaan telah dikhianati? Sungguh, rakyat sudah lelah dengan elegi pemberantasan korupsi ini.

Achmad M Akung, Dosen pada Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro Semarang; Mahasiswa Pascasarjana Psikologi UGM

Sumber :
Tulisan ini disalin dari Kompas, 9 November 2009, dalam :
http://antikorupsi.org/

Pemberantasan Korupsi Tidak Boleh Mati

Rasa syukur yang tak terhingga patut kita panjatkan atas keberhasilan rakyat Indonesia mengikuti seluruh rangkaian pemilihan umum dengan damai, tertib, dan demokratis. Meski mungkin masih terdapat beberapa kekurangan yang harus sama-sama dicermati, perbaikan pelaksanaan pemilu dari waktu ke waktu harus mendapat apresiasi yang proporsional.

Dalam kerangka itulah tetap dilakukan upaya koreksi guna meningkatkan proses demokratisasi di Indonesia agar menjadi lebih terarah, berdasarkan konstitusi, dan melibatkan semua unsur bangsa tanpa terkecuali.

Pemilu memang bukan tujuan akhir, tetapi awal dari proses baru untuk kembali meneguhkan cita-cita bangsa dan negara mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera dalam kehidupan demokratis yang menjunjung tinggi tata kelola pemerintahan yang baik, bersih, dan tanpa toleransi terhadap praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Untuk itu, Presiden SBY yang hampir dapat dipastikan bakal kembali memimpin pemerintahan untuk periode 2009-2014 perlu selalu diingatkan dan dikawal bahwa tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih adalah salah satu pilar penting dalam sistem integritas nasional yang diamanatkan oleh konstitusi kita.

Beberapa permasalahan jangka pendek yang memerlukan penyelesaian segera dalam upaya mewujudkan pemerintahan yang bersih adalah satu bentuk ujian bagi pemerintahan mendatang untuk membuktikan komitmen yang kuat pada penegakan hukum dan upaya pemberantasan korupsi. Berikut ini beberapa permasalahan yang perlu mendapat perhatian serius.

RUU Pengadilan Tipikor

Proses pembuatan, pembahasan, dan pengundangan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengadilan Antikorupsi oleh pihak pemerintah maupun Dewan Perwakilan Rakyat menunjukkan kurangnya komitmen terhadap efektivitas pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia.

Rancangan yang dipublikasikan kepada khalayak pada saat ini belum menunjukkan adanya komitmen yang kuat dan kelambatan proses pengundangan UU Pengadilan Antikorupsi baik sengaja atau tidak sengaja dapat melemahkan dan membuat tidak efektifnya upaya-upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia.

Perlu upaya luar biasa, baik melalui percepatan proses pembahasan maupun pengundangan RUU Pengadilan Antikorupsi dengan substansi yang mendukung pencegahan dan pemberantasan korupsi yang efektif. Atau bilamana hal tersebut tidak terjadi dalam masa sidang Dewan Perwakilan Rakyat 2004-2009, Presiden dengan kekuasaan eksekutif tertinggi dapat mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang dengan substansi tersebut secepatnya.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Pemberitaan di media masa yang menimbulkan wacana hangat baru-baru ini mengesankan Presiden mempertanyakan posisi dan wewenang KPK sebagai super-body dengan kekuasaan besar yang unchecked. Kesan ini telah menimbulkan keprihatinan mendalam di kalangan KPK, penggiat antikorupsi, pemimpin informal, lembaga swadaya masyarakat, dunia akademis, dan masyarakat pada umumnya sebagai bagian dari pemangku kepentingan gerakan antikorupsi.

Perlu diingat kembali bahwa sesuai dengan UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), KPK adalah komisi yang mempunyai kewenangan luar biasa. KPK memang sengaja dibangun dengan kewenangan tersebut karena tugas KPK difokuskan pada pencegahan dan pemberantasan suatu tindak pidana korupsi yang luar biasa pula dampak negatifnya terhadap penegakan hukum, pembangunan ekonomi, pencitraan bangsa, dan upaya untuk membangun kembali bangsa dan negara ini.

Untuk menegaskan bahwa sejatinya Presiden masih tetap memiliki komitmen tinggi pada pemberantasan korupsi, akan sangat bijak jika Presiden mengulang pernyataan terbuka kepada bangsa dan rakyat Indonesia bahwa Presiden tetap merupakan pemimpin di garis terdepan dari gerakan antikorupsi dan mendukung badan, lembaga, serta komisi pelaksananya, termasuk KPK. Hal ini juga akan berdampak baik bagi pencitraan Indonesia di mata internasional.

Hubungan Antarlembaga Penegak Hukum

Perseteruan antarlembaga penegak hukum yang kerap muncul adalah satu tantangan besar bagi upaya penegakan hukum itu sendiri. Perseteruan semacam ini hanya akan membuka peluang bagi pihak yang memang tidak menginginkan hukum menjadi panglima di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Perkembangan di media masa soal perseteruan antara Kepolisian Republik Indonesia dan KPK perlu menjadi perhatian serius berbagai kalangan. Jalur komunikasi yang efektif harus dibangun secara kuat untuk mencegah masuknya informasi-informasi menyesatkan yang sengaja diembuskan oleh seseorang atau sekelompok orang yang ingin melemahkan, bahkan menghancurkan, gerakan antikorupsi di Indonesia dan KPK.

Lebih khusus lagi, dipermasalahkan kewenangan KPK untuk melakukan penyadapan yang sebenarnya dijamin dengan tegas oleh UU KPK. Menurut pemberitaan media, penyadapan yang dilakukan oleh KPK dilakukan untuk menyelidiki ancaman terhadap KPK dan/atau pimpinan KPK yang terkait dengan kasus korupsi sehingga penyadapan tersebut merupakan penyadapan yang dilakukan sesuai dengan UU KPK dan karenanya sah menurut hukum.

Seandainya ada permasalahan yang menyangkut kewenangan KPK atas penyadapan tersebut, itu merupakan masalah yang harus diselesaikan oleh pembuat undang-undang. Menyatakan salah satu pimpinan KPK yang menjalankan tugasnya sesuai dengan UU KPK sebagai tersangka kasus penyadapan bukan hanya merupakan hal yang di luar batas kewenangan polisi, tetapi juga sungguh tidak perlu.

Bila dikaitkan dengan pemberitaan media yang mengatakan bahwa pimpinan KPK lainnya juga akan ditargetkan untuk dijadikan tersangka untuk kasus lain dan seandainya direka-reka berdasarkan bukti-bukti yang difabrikasi serta mengandalkan informasi/laporan dari pihak yang bermasalah, jelas-jelas itu merupakan gerakan yang akan melemahkan dan menghancurkan upaya pemberantasan korupsi, khususnya KPK.

Seandainya UU Pengadilan Tipikor gagal diundangkan, kewenangan KPK dipertanyakan, dan hubungan antarlembaga penegak hukum buruk, patut disimpulkan bahwa serangan balik para koruptor telah mencapai kemenangan dan pemberantasan korupsi mati suri. Semoga bukan itu yang terjadi.(*)

Sumber :
Erry Riyana Hardjapamekas
Mantan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
http://pukatkorupsi.or.id/2009/08/pemberantasan-korupsi-tidak-boleh-mati.html
19 Agustus 2009