Rabu, 11 November 2009

Gaji Minim Picu Korupsi

Sebanyak 70% pegawai negeri sipil (PNS) yang tersangkut kasus korupsi beralasan,perilaku korup yang mereka lakukan dikarenakan kebutuhan, lantaran gaji yang diterima tidak mencukupi.

Fakta tersebut diungkapkan Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abdullah Hehamahua dalam workshop ”Strategi Penanganan Konflik Kepentingan di Indonesia” di Hotel Horison Bandung, kemarin. Menurut Abdullah, gaji PNS di Indonesia yang hanya cukup untuk 10 - 20 hari menciptakan potensi melakukan korupsi. ”Sebanyak 10% lagi disebabkan keserakahan karena tidak ada sistem yang mengawal atau mengontrol mereka. Kemudian korupsi karena peluang, ini biasanya diciptakan karena adanya konflik kepentingan.


Dan terakhir adalah korupsi yang sudah menjadi budaya atau korupsi telanjang,” sebut Abdullah. Korupsi budaya, katanya, adalah korupsi yang paling harus diwaspadai. Pasalnya, Indonesia sudah mengalami pemerintahan tirani yang membentuk sistem birokrasi selama 32 tahun. ”Sehingga orang sadar atau tanpa sadar,sudah melakukan korupsi,” ujarnya. Menurut Abdullah, selama 32 tahun sistem itu terus berjalan. ”Suap menyuap menjadi budaya, sehingga ada istilah jika ingin lancar kita harus menyuap segini, segitu,dianggap ini memang sudah sangat lazim,” ungkap lagi.

Korupsi birokrat yang sangat parah di Indonesia, kata Abdullah, didukung sistem institusi pegawai negeri dan juga mentalitas korup yang membudaya. ”Tapi, memang lebih besar pada domain pribadi, sementara sistem memberikan kesempatan,” katanya. Untuk itu, yang harus diperbaiki adalah mental aparat pemerintah dan sistemnya.Menurutnya, bisa saja secara pribadi seseorang tidak memiliki niat untuk korupsi, tapi sistem yang memaksanya menjadi koruptor.

Profesionalitas lembaga penegak hukum yang lemah juga termasuk kebobrokan sistem yang sudah semestinya diperbaiki. Konflik kepentingan yang intensitasnya sangat tinggi di lintas lembaga semakin memperparah situasi. ”Sebanyak 70% kasus yang ditangani di KPK adalah konflik kepentingan, seperti korupsi di pengadaan barang dan jasa. Ada kepentingan tertentu, misalnya dari atasannya, lalu pimpro (pimpinan proyek) yang ditunjuk atasan, dan pelaksana proyek,” kata Abdullah.

Dia mengatakan, sosialisasi antikorupsi harus terus digencarkan pada birokrat di Indonesia. KPK akan menggelar workshop serupa di Medan. Sebelumnya kegiatan tersebut diselenggarakan di Jakarta, Makassar, Surabaya, dan kemarin di Kota Bandung. Di tempat yang sama, Wakil Gubernur Jabar Dede Yusuf mengatakan, workshop tersebut sangat berguna untuk menambah pengetahuan para birokrat tentang korupsi yang terkadang tanpa sadar dilakukan PNS. Menurut Dede, ada hal-hal tertentu yang dia tidak ketahuinya sebagai tindakan korup.

”Saya bahkan baru tahu dari workshop ini, jika mengantar teman pakai mobil dinas itu ternyata masuk kategori korupsi. Nah, ini kan pasti jadi perdebatan yang panjang. Saya yakin di atas jam kerja, banyak pejabat yang diantar menggunakan mobil dinas. Dan itu ternyata dilarang,” ungkap Dede.

Menurutnya, apa yang didapat dari workshopantikorupsi itu harus diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.”Dalam birokrasi juga terkadang ada kebingungan- kebingungan,” tandasnya.

Sumber:
Seputar Indonesia, 6 November 2009, dalam :
http://www.kpk.go.id/modules/news/article.php?storyid=3487

Tidak ada komentar:

Posting Komentar